Pages

Monday, November 23, 2015

[Review] Another Look on 'Kotonoha no Niwa' a.k.a. 'The Garden of Words' (May Contain Spoilers)

言の葉の庭
The Garden of Words

Genre: Drama, romance
Year of Release: 2013
Segmentasi Penonton: Dewasa, remaja?
The Garden of Words (2013) on IMDb
 

Karya Makoto Shinkai yang satu ini kerap dibanding-bandingkan dengan karya sebelumnya, 5 Centimeter Per Second. Bukan sebuah masalah, namun ada hal yang ingin saya garisbawahi soal kekecewaan banyak fans terhadap film yang satu ini.

Kualitas visual dari karya-karya Shinkai-San tidak perlu dipertanyakan lagi. The Garden of Words menyajikan visual yang sangat menyegarkan mata, dan yang paling membuat penonton terkagum-kagum adalah detil hujan yang luar biasa. Rintik-rintik hujan belum pernah digambarkan sedetil itu dalam anime-anime pendahulu, saya rasa. Tapi kualitas gambar bukanlah hal paling utama dalam penyampaian cerita, ya kan? Nah, yang jadi masalah adalah ceritanya sendiri. Menurut saya banyak penonton yang belum menemukan letak keindahan sebenarnya dari cerita dalam film ini.

Yang saya lihat, romantisme dalam cerita Shinkai-San terus berkembang. Romantisme dalam The Garden of Words sudah mencapai level dewasa. Dari sudut pandang saya, wajar saja bila banyak penonton, terutama remaja, belum bisa menikmati sepenuhnya. Terutama dengan durasinya yang cenderung singkat (46 menit), rasa penasaran banyak tersisa setelah menontonnya. Memang jika dibandingkan dengan 5 Centimeters Per Second, tema yang diangkat jauh berbeda. 5 Centi menyajikan kumpulan pengalaman yang mudah dicerna (juga melibatkan common issues), namun disajikan secara apik sehingga mampu menyayat hati para penonton.  Lain halnya dengan Garden of Words, meski salah satu tokoh utamanya seorang pelajar SMA, namun cerita yang disampaikan tidak mengutamakan problema umum para remaja. Mengapa saya katakan demikian?

Jika kita familiar dengan istilah 'tugas perkembangan' dalam ilmu psikologi, maka kurang lebih kita akan mengerti apa yang dirasakan Takao (tokoh utama laki-laki) dan 
Yukari (tokoh utama wanita). Di usianya yang masih tanggung, dia sudah dihadapkan dengan berbagai tantangan berat dan dituntut untuk mandiri. Menghasilkan kemandirian yang berujung kesendirian. Perceraian orang tua, ibunya yang kerap absen di rumah, kakaknya yang juga punya kehidupan sendiri, dan pekerjaan sampingan membuat pola pikirnya berbeda dengan teman-teman sebayanya. Tugas-tugas perkembangan remajanya terlewati begitu saja, membuatnya memiliki visi sebagai seorang pria dewasa meskipun masih terhalang oleh fisik dan emosi seorang remaja. Wajar jadinya, jika akhirnya dia jatuh cinta pada Yukari, seorang wanita dengan rentang usia 12 tahun yang tiba-tiba hadir menemani kesendiriannya. Di sisi Yukari, yang terjadi adalah kebalikan dari Takao. Dia sendiri merasa bahwa dirinya adalah seorang gadis remaja dalam tubuh wanita. Pertemuan mereka tanpa disangka membuat sebuah jalinan kasih yang sulit mereka artikan; ragu bahwa itu memang ketertarikan antar lawan jenis dengan halangan tembok usia yang belum bisa dirobohkan. Meski begitu, mereka menjadi pasangan yang saling melengkapi (disimbolkan dengan sebuah tanka atau puisi pada film).

Hujan memiliki arti yang beragam, namun saya ambil satu yang menyimbolkan kesedihan. Hujan yang selalu mengiringi kebersamaan mereka akhirnya berhenti, awan kelabu mulai menyingkir lalu langit kembali megagungkan matahari. Kesedihan seakan hilang, mereka memutuskan untuk melangkah maju di jalan mereka masing-masing. Perasaan kehilangan kemudian menghantui, dan saat mereka bertemu kembali, hujan turun dengan derasnya. Sebuah penutup yang digambarkan secara luar biasa, bagi saya. Dan pentutup tambahan seusai credit melengkapi semuanya (bahwa mereka bukan tidak bisa bersama, tapi belum bisa).

Film yang singkat, padat, dan jelas. Saya tidak akan pernah berhenti merekomendasi-kannya pada semua orang. Penilaian dari saya:

Story: 9
Visual: 10
Music: 9
Rewatchability: 9 (terutama karena durasinya yang singkat)
Overall: 9

Thanks for reading!


No comments:

Post a Comment