Pages

Friday, November 27, 2015

[Review] Kodoku no Gurume AKA The Solitary Gourmet [J-Drama]

Kodoku no Gurume

Genre: Food. drama (adaptasi manga)
Status: 4 seasons completed (11 eps per season)
Years of Release:  2012 - ???
Segmentasi penonton: BO, remaja, dewasa

  


Serial ini menceritakan drama seputar kehidupan seorang importir barang-barang dekoratif bernama Goro (Yutaka Matsushige), atau mungkin lebih tepatnya, drama seputar pemilihan makanan. Jika kamu bertanya kenapa harus solitary (kodoku) atau sendirian, maka tagline tayangan ini yang kurang lebih berbunyi "Kebebasan memilih makanan tanpa gangguan adalah hak yang dimiliki tiap orang untuk menikmatinya," cukup menjelaskan semua.

Menurut saya, Kodoku no Gurume adalah tayangan 'wisata kuliner' yang didramatisasi. Wajar saja kalau cerita yang disuguhkan tidak selezat makanannya. Fokus tayangan ini pada makanan membuatnya memiliki tingkat enjoyment yang tinggi. Dengan begitu makanan yang dipresentasikan menjadi sangat menggiurkan. Tidak hanya itu, presentasi daerah yang menyajikan makanan di tiap episode sangatlah baik. Jadinya penonton tidak hanya tergiur dengan makanannya saja, tapi juga diundang untuk mengunjungi daerah-daerah di Jepang yang memiliki ciri khas masing-masing. Kita tidak perlu khawatir jika menonton episodenya secara acak.

Akting pemeran-pemeran pembantu juga tidak spesial, seringkali datar bahkan. Tapi seperti yang sudah saya tuliskan, dengan makanan sebagai fokus utamanya, kualitas dramanya sendiri tidak jadi masalah jika jika dikesampingkan. Meski kadang korelasi antara makanan, tempat, dan situasi yang dihadapi Goro juga disampaikan dengan baik sehingga bisa menambah keasyikan kita saat menonton. Selepas dramanya, sang penulis (mangaka) juga datang ke restoran/tempat makan lokasi shooting untuk presentasi ekstra yang lebih faktual.

Banyak orang yang menyarankan untuk tidak menontonnya disaat lapar, tapi saya justru berpendapat sebaliknya. Tayangan ini memang bisa membuat perut keroncongan dan mulut banjir air liur, namun di situlah letak seninya. Tunda makanmu atau tonton tayangan ini sebelum kamu makan. Niscaya makananmu nanti akan terasa lebih nikmat (hehe, memang begitu kan? Makanan paling enak adalah makanan yang dimakan saat kita lapar). Jika kamu lapar dan makanan tidak tersedia, mungkin dorama ini memang lebih baik dihindari, haha.

Untuk kamu yang suka tayangan bertemakan makanan, maka serial yang satu ini saya rasa wajib kamu tonton. Penilaian dari saya:

Story: 6.5
Food & Place Presentation: 9
Music: 7
Overall: 8 

Thanks for reading!


Thursday, November 26, 2015

[Review] Mommy (Canada, 2014)

Mommy

Genre: Drama
Sutradara: Xavier Dolan
Bahasa: Perancis
Year of Release: 2014
Segmentasi Penonton: Dewasa

Mommy (2014) on IMDb


Die (Diane) adalah seorang janda yang hidup ala kadarnya dan mau bekerja apa saja (selama itu baik) demi bertahan hidup. Mampu menghidupi dirinya sendiri, dia akhirnya memutuskan untuk mengeluarkan anak semata wayangnya yang menderita ADHD (gangguan hiperaktivitas) dari sebuah tahanan remaja. Tantangan-tantangan baru yang jauh lebih berat pun bermunculan.

Film ini membawa pengalaman baru bagi saya pribadi. Tema konflik dalam keluarga memang sesuatu yang sangat umum, namun Mommy memiliki variabel yang sangat unik. Penggambaran ricuhnya menangani seorang remaja yang hiperaktif dibuat realistis. Emosi penonton (yang bisa menikmati) akan terhanyut dalam arus cerita yang kadang cepat dan kadang lambat. Sang sutradara sendiri menggunakan teknik penyampaian dengan efek framing layar yang juga unik, dimana potrait dan landscape menggambarkan situasi emosi yang berbeda.

Akting para pemeran saya nilai top notch. Aktris dan aktor utamanya memang langganan sang sutradara. Meski mungkin nama-nama seperti Anne Dorval, Suzanne Clément, dan Antoine-Olivier Pillon masih terdengar asing di telinga kamu.

Salah satu hal lain yang jadi sorotan di film ini adalah sutradaranya sendiri. Bagaimana tidak, sebuah pengalaman sinematik yang bisa saya bilang luar biasa ini dibuat oleh seorang pemuda berusia 26 tahun! Jika kamu familiar dengan nama Xavier Dolan, maka kurang lebih kamu tahu kenapa dia bisa menggambarkan konflik yang ada di film dengan begitu realistis.

Well, mungkin film ini bukan tontonan yang bisa dinikmati semua orang, menurut saya. Di luar segala kualitas yang terkandung. Tapi saya tetap bersikeras merekomendasi-kannya. Terutama bagi para penonton yang suka film-film sejenis 'A Separation'-nya Asghar Farhadi. Penilaian dari saya:

Story: 9
Art (Cinematography, etc): 8.5
Music: 9
Rewatchability: 8
Overall: 8.5

Thanks for reading!



Wednesday, November 25, 2015

[Review] Nobunaga Concerto (J-Drama)

Nobunaga Concerto

Genre: Drama, comedy, fantasy, history
(Adaptasi manga)
Year of release: 2014
Status: Completed
Segmentasi Penonton: Remaja, dewasa

   

Sesuai dengan judulnya, serial drama ini menceritakan tentang romansa kehidupan seorang figur legendaris di Jepang, Oda Nobunaga. Untuk saya pribadi, kisah-kisah seputar kehidupan beliau selalu menarik. Tayangan ini membuatnya unik dengan mencampurkan bumbu fantasi yang pas.

Saburo (Shun Oguri) adalah seorang siswa SMA di era modern yang biasa-biasa saja, tidak memiliki keahlian khusus ataupun keunggulan yang bisa dibanggakan. Di sebuah festival budaya yang dihadirinya, secara aneh dia tiba-tiba terlempar ke masa lalu saat mencoba melompati tembok pembatas, Sebelum menyadarinya, dia bertemu sosok kembaran yang ternyata merupakan Nobunaga Oda. Dengan beberapa kondisi, Nobunaga meminta Saburo untuk menggantikannya sebagai calon penerus Klan Oda. Dari situlah, kisah perjuangan Saburo di era Sengoku yang kocak dan mengharukan dimulai. 

Buat para penggemar film atau dorama Jepang, para cast di serial ini banyak sekali yang sangat familiar di mata. Misalkan Kou Shibasaki, Takayuki Yamada, Osamu Mukai, Kiko Mizuhara, Kaho, dan banyak lainnya (bahkan Acchan juga jadi bintang tamu! hehe). Dengan bermodal nama-nama besar, NC tidak menyia-nyiakannya. Saat menonton, saya merasa bahwa sudah lama sekali tidak menikmati ensemble para aktor dan aktris di serial drama Jepang, dan NC menyajikannya dengan hebat.

Progres perkembangan karakter Saburo di sini juga ditata rapi, meskipun sayangnya garis waktu tidak dijelaskan secara rinci (bahwa alur cerita berjalan bertahun-tahun). Bagi yang cukup mengetahui sejarah Nobunaga, drama ini memang melakukan banyak penyesuaian, dan memang sangat bisa dimaklumi. Mengingat fantasi adalah tema utamanya.

Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, saya sangat merekomendasikan serial ini buat kamu tonton! Penilaian dari saya:

Story: 9
Set & Art: 9
Music: 9 (pake dubstep segala! tapi mix, kok)
Rewatchability: 9
Overall: 9  

Thanks for Reading!



p.s. serial ini akan ditutup (ditambah, lebih tepatnya) dengan sebuah film yang akan di-release tahun 2016.

Tuesday, November 24, 2015

[Review] Okashi no Ie a.k.a. Candy House (Japanse Drama)

Okashi no Ie (Candy House)

Genre: Drama, slice of life, romance
Year of release: 2015
Status: Ongoing (Eps. 5)
Segmentasi Penonton: Dewasa
(problematika kehidupan dewasa)

     


Sakuraya, sebuah toko permen murah (sederhana) di pinggiran kota hampir lenyap seiring menjamurnya pertokoan modern. Meski usaha peninggalan kakek dan neneknya itu terlihat akan bangkrut, Taro (Joe Odagiri) sang pemilik tetap menyisakan optimisme dan bersikeras untuk tetap meneruskannya. Pekerjaan sampingan di malam hari pun mau tidak mau harus dijalaninya untuk mendapat tambahan penghasilan.

Sakuraya juga merupakan base camp teman sekolah dan teman masa kecil Taro. Di sana mereka menghabiskan waktu secara perlahan, kontras dengan kehidupan kota yang serba cepat. Stagnan, dan cenderung monoton meski cenderung nyaman. Semua mulai berubah ketika sosok Reiko (Machiko Ono), teman sekelas Taro tiba-tiba masuk kembali ke kehidupannya.

Teman-teman masa kecil Taro yang lain pun bermunculan satu per satu, dan selalu membawa warna baru di tiap cerita. Yang mengejutkan, adalah ingatan sang nenek (Kaoru Yachigusa) yang kuat. Dia mengingat semua teman Taro yang dulunya sering mengunjungi Sakuraya, menjadikannya seorang tokoh yang sangat penting untuk jalannya cerita.

Serial drama ini berfokus pada kehidupan masa dewasa dengan pace yang lambat khas drama Jepang. Sutradaranya berhasil sekali dalam menggambarkan nuansa tradisional di tengah dunia modern. Meski pada awalnya kisah romance disajikan tanpa awalan yang jelas, plot cerita terus berkembang. Tiap episode selalu menyajikan ragam konflik yang menarik dan membawa nostalgia bagi Taro dan orang-orang di sekitarnya. Bintang tamu juga selalu membawa kejutan di tiap cerita.

Sejauh ini saya masih dibuat penasaran soal kelanjutan ceritanya, jadi saya rasa drama yang satu ini layak untuk anda ikuti. 

Thanks for Reading!


Monday, November 23, 2015

[Review] Into The Badlands (AMC's Original Series)


Into the Badlands (2015– ) on IMDb

Genre: Action, drama
Year(s) of release: 2015
Segmen Penonton : Dewasa 
(sadisme, hal-hal berkaitan dengan seks, kompleksitas cerita)

Serial baru dari AMC yang satu ini menyajikan hal baru di dunia serial TV, dengan memadukan aksi bela diri dengan latar semacam post-apocalyptic realm. Sulit bagi saya untuk tidak mengingat Mad Max. Sambil menunggu tayangan-tayangan dan serial lain yang belum di-release, atau mengisi kehampaan setelah menonton The Walking Dead, Into The Badlands cukup menarik untuk diikuti. Nama AMC sendiri sudah sangat akrab di telinga para penonton serial TV AS di seluruh dunia, terutama setelah Breaking Bad dan The Walking Dead tayang di sana. Dengan keunikan yang dibawa, serial ini cukup diantisipasi (oleh saya juga tentunya). Bagaimana hasilnya? Berhubung serial ini masih fresh dan ongoing, ulasan di post ini akan saya perbarui terus seiring jadwal tayang.


Dari Episode 1

Badlands, sebuah dunia yang dibangun di atas darah (ceritanya). Di tengah kekacauan dan ketakutan akan peperangan, tujuh figur berhasil membuat sebuah sistem feodal yang menghasilkan keteraturan semu, hukum rimba, dan perbudakan. Semua senjata api ditiadakan (bagaimana bisa?) dan para Baron (pemimpin faksi) melatih budak-budak mereka menjadi pasukan pembunuh yang dinamakan Clippers. Nah, tokoh utamanya, Sunny, adalah salah satu Clippers-nya Baron Quinn dari Fort yang sangat kompeten dalam hal bunuh-membunuh dan sangat loyal. Seorang bocah dengan latar belakang misterius kemudian hadir dan menyalakan kembali lentera kemanusiaan Sunny. Percikan-percikan harapan akan kebebasan mulai terpancar di matanya, terutama setelah mendapati kondisi kekasihnya yang dilematis. 

Episode 1, serupa dengan awalan-awalan serial lainnya, tentu berisi pengenalan yang berujung pada pertanyaan-pertanyaan. Lalu, apakah pertanyaan-pertanyaan itu mengundang rasa penasaran dan membuat penonton ingin lanjut terus? Untuk saya: ya. Meski perpaduan akting, dialog, dan latar masih terasa canggung, saya masih ingin menyambung tali alur ceritanya. 


Dari Episode 2 

Cerita terus melaju dan pertanyaan kembali bermunculan. Meski belum ada perkembangan dari segi akting. Seorang Baron dengan julukan "The Widow" di sini diceritakan lebih lanjut. Saya bilang episode kali ini akan cukup memanjakan mata para pria, hehe, berhubung pesona The Widow yang memikat dan cleavages yang bertaburan di banyak adegan (ups!). Tapi tenang, itu semua di luar cerita. Yang akan saya highlight dari episode ini adalah lentera harapan di hati Sunny yang kian berkobar. Sebuah tragedi terjadi dan membuatnya berpikir lebih dalam perihal melarikan diri.

Saya agak kecewa dengan beberapa sisi dari alur cerita dalam episode kali ini. Ada beberapa hal yang terkesan terburu-buru, lalu Emily Beecham (The Widow) yang masih terlihat menyesuaikan dialeknya (berhubung dia orang Inggris) cukup mengganggu, sejenak. Di luar semua itu, episode ini kembali mengundang saya untuk lanjut ke episode-episode berikutnya.


3rd episode's coming next week


Cerita-cerita bertemakan pencarian harapan selalu menarik bagi saya. Sama seperti film-film dan serial aksi lainnya, kualitas cerita seringkali tidak berbanding lurus dengan sajian aksinya. Tetap, saya rekomendasikan pada anda, para pembaca, untuk mencoba terlebih dulu.

Thanks for reading!





[Review] Another Look on 'Kotonoha no Niwa' a.k.a. 'The Garden of Words' (May Contain Spoilers)

言の葉の庭
The Garden of Words

Genre: Drama, romance
Year of Release: 2013
Segmentasi Penonton: Dewasa, remaja?
The Garden of Words (2013) on IMDb
 

Karya Makoto Shinkai yang satu ini kerap dibanding-bandingkan dengan karya sebelumnya, 5 Centimeter Per Second. Bukan sebuah masalah, namun ada hal yang ingin saya garisbawahi soal kekecewaan banyak fans terhadap film yang satu ini.

Kualitas visual dari karya-karya Shinkai-San tidak perlu dipertanyakan lagi. The Garden of Words menyajikan visual yang sangat menyegarkan mata, dan yang paling membuat penonton terkagum-kagum adalah detil hujan yang luar biasa. Rintik-rintik hujan belum pernah digambarkan sedetil itu dalam anime-anime pendahulu, saya rasa. Tapi kualitas gambar bukanlah hal paling utama dalam penyampaian cerita, ya kan? Nah, yang jadi masalah adalah ceritanya sendiri. Menurut saya banyak penonton yang belum menemukan letak keindahan sebenarnya dari cerita dalam film ini.

Yang saya lihat, romantisme dalam cerita Shinkai-San terus berkembang. Romantisme dalam The Garden of Words sudah mencapai level dewasa. Dari sudut pandang saya, wajar saja bila banyak penonton, terutama remaja, belum bisa menikmati sepenuhnya. Terutama dengan durasinya yang cenderung singkat (46 menit), rasa penasaran banyak tersisa setelah menontonnya. Memang jika dibandingkan dengan 5 Centimeters Per Second, tema yang diangkat jauh berbeda. 5 Centi menyajikan kumpulan pengalaman yang mudah dicerna (juga melibatkan common issues), namun disajikan secara apik sehingga mampu menyayat hati para penonton.  Lain halnya dengan Garden of Words, meski salah satu tokoh utamanya seorang pelajar SMA, namun cerita yang disampaikan tidak mengutamakan problema umum para remaja. Mengapa saya katakan demikian?

Jika kita familiar dengan istilah 'tugas perkembangan' dalam ilmu psikologi, maka kurang lebih kita akan mengerti apa yang dirasakan Takao (tokoh utama laki-laki) dan 
Yukari (tokoh utama wanita). Di usianya yang masih tanggung, dia sudah dihadapkan dengan berbagai tantangan berat dan dituntut untuk mandiri. Menghasilkan kemandirian yang berujung kesendirian. Perceraian orang tua, ibunya yang kerap absen di rumah, kakaknya yang juga punya kehidupan sendiri, dan pekerjaan sampingan membuat pola pikirnya berbeda dengan teman-teman sebayanya. Tugas-tugas perkembangan remajanya terlewati begitu saja, membuatnya memiliki visi sebagai seorang pria dewasa meskipun masih terhalang oleh fisik dan emosi seorang remaja. Wajar jadinya, jika akhirnya dia jatuh cinta pada Yukari, seorang wanita dengan rentang usia 12 tahun yang tiba-tiba hadir menemani kesendiriannya. Di sisi Yukari, yang terjadi adalah kebalikan dari Takao. Dia sendiri merasa bahwa dirinya adalah seorang gadis remaja dalam tubuh wanita. Pertemuan mereka tanpa disangka membuat sebuah jalinan kasih yang sulit mereka artikan; ragu bahwa itu memang ketertarikan antar lawan jenis dengan halangan tembok usia yang belum bisa dirobohkan. Meski begitu, mereka menjadi pasangan yang saling melengkapi (disimbolkan dengan sebuah tanka atau puisi pada film).

Hujan memiliki arti yang beragam, namun saya ambil satu yang menyimbolkan kesedihan. Hujan yang selalu mengiringi kebersamaan mereka akhirnya berhenti, awan kelabu mulai menyingkir lalu langit kembali megagungkan matahari. Kesedihan seakan hilang, mereka memutuskan untuk melangkah maju di jalan mereka masing-masing. Perasaan kehilangan kemudian menghantui, dan saat mereka bertemu kembali, hujan turun dengan derasnya. Sebuah penutup yang digambarkan secara luar biasa, bagi saya. Dan pentutup tambahan seusai credit melengkapi semuanya (bahwa mereka bukan tidak bisa bersama, tapi belum bisa).

Film yang singkat, padat, dan jelas. Saya tidak akan pernah berhenti merekomendasi-kannya pada semua orang. Penilaian dari saya:

Story: 9
Visual: 10
Music: 9
Rewatchability: 9 (terutama karena durasinya yang singkat)
Overall: 9

Thanks for reading!